PROLOG
Pertemuan pertama kita tidak begitu baik.
Kau membuat hari pertamaku pindah di
Kota metropolitan itu menjadi buruk.
Angin berhembus kencang menerpa wajah wanita dengan rambut merah maroonnya, ketika ia membuka lebar jendela balkonnya. Hawa dingin yang menusuk kesetiap poripori dikulitnya. Ia menarik nafas dalam menikmati udara malam di musim dingin saat ini, beberapa butiran salju yang jatuh menemani waktunya. Wanita tersebut menopang dagunya sambil melihat gemerlap kota seoul di malam bersalju seperti sekarang.
Sejujurnya suasana begini membuat hatinya kembali terasa melow, kosong, dan terasa hampa.
Dibukannya sebuah album foto ukuran sedang berwarna hitam. Matanya menerawang ke kumpulan kertas berisi gambar seseorang yang sama dalam berbagai macam gaya yang tertempel di setiap lembaran album itu. Ingatannya kembali berputar ke kejadian beberapa
***
Daegu, 1 april 2014.
Satu kardus besar berhasil dibawa oleh gadis dengan rambut dikuncir kedalam sebuah kamar, itu kardus terakhir yang ia miliki. Lelehan keringat mengalir dijidatnya tak ia hiraukan. Gadis itu merenggerangkan tulang belakangnya yang terasa remuk karena harus berjalan dari lantai bawah membawa kardus-kardus berisi barang-barangnya ke kamarnya yang berada dilantai atas. Matanya menatap jejeran kardus-kardus berwarna coklat yang masih tertutup rapi, dia mendesah pelan. Pekerjaannya jelas belum selesai sampai disini, dia masih harus menyusun isi dalam kardus itu ketempatnya.
‘Pindahan memang sangat merepotkan.’ Gumamnya pada diri sendiri.
“hanna.” Hanna, gadis itu menoleh kearah pintu coklat kamarnya yang tertutup rapat setelah mendengar panggilan dari arah luar kamarnya. tuas pintu kamarnya bergerak sendiri dan kemudian terbuka. Seorang wanita di pertangahan usia tiga puluh muncul dari balik pintu.
“wae eomma? (kenapa bu).” Tanyanya langsung melihat wanita itu.
“makanan sudah siap.” Wanita yang merupakan ibu dari hanna berujar pelan sambil menampilkan senyuman hangatnya.
“tidak sekarang bu, aku masih harus merapikan kamarku dulu.” Ucapnya malas. Hanna mengalihkan perhatiannya pada barang-barang yang masih berserakan disana-sini, begtu juga ibunya yang ikut melihat hal yang sama.
“oh yasudah, kalau begitu ibu, ayah dn adikmu makan duluan.”
“ya teserah.”
Setelah balasan cuek dari hanna pintu kamarnya kembali tertutup. Derap kaki terdengar menjauh, ibu hanna pergi menuju lantai bawah.
Tidak seperti perkatannya pada ibunya, gadis itu malah membaringkan tubuhnya pada kasur empuk barunya. Tubuhnya lelah, dia perlu istirahat sebentar sebelum kembali merapikan barang-barangnya. Mungkin tidur beberapa menit.
Tubuh hanna bergerak tak tenang kesana-kemari. Sudah sepuluh menit dia menutup matanya, mencoba untuk tidur, namun ia tak kunjung terlelap. Mungkin karena dia sudah tidur dua jam sebelumnya makanya sekarang dia tidak bisa tidur lagi.
“euh, bosannn..” hanna menggeram lagi. Dia menendang bantal guling yang ada didekat kakinya hingga benda tak berdosa itu terbang dan menghantam lantai. diraihnya benda lain berbentuk persegi panjang dan tipis yang berada didekatnya, berharap ada sesuatu yang bisa dilakukan pada benda itu. namun, harapanya tak sesuai, benda elektronik yang sedang ngetrend milikinya hanya menampilkan layar hitam dan tak bisa dinyalakan. Lowbat.
Hanna mendengus kesal. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Pandangannya mengarah pada kardus-kardus yang berjejer. Eoh, dia tidak dalam mood baik untuk mengerjakan itu sekarang. Dia butuh hiburan lain. Pandangannya ia alihkan ke jam digital yang ada di nakas samping tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 04:45pm.
“masih sore.. apa aku keluar saja?. Jalan-jalan sekalian melihat lingkungan baru?” hanna bertanya pada dirinya sendiri. Dia lalu tersenyum cerah memikirkan idenya. “tidak buruk.! Kajja... (ayo)”
Gadis itu beranjak dari posisinya, dia mengambil jaket tebal yang tergantung dibalik pintu kamarnya dan tas berisi kamera lalu menlongos keluar kamar. Dia berlari kecil menuruni anak tangga.
“aku pergi dulu.” Ujarnya ketka melewati ayah, ibu dan adiknya yang sedang menonton tv diruang tengah.
“kau mau kemana?” sahut ibunya sebelum gadis itu membuka pintu.
“jalan-jalan sebentar.”
“jangan pulang larut.”
“iya.” Setelah mengatakan itu hanna membuka pintu utama rumahnya.
***
Oh hanna. Gadis berusia 17tahun yang duduk di bangku ke dua sekolah menengah. Hanna berasal dari keluarga sederhana, ayahnya karyawan disuatu perusahan yang bergerak dibidang elektronik dan ibunya seorang wirausaha yang membuka sebuah toko kue. Berparas manis, mata berbentuk wide set eyes shape, hidung yang tidak terlalu tinggi, bibir kecil yang akan menampilkan dua gigi kelinci depan saat ia tertawa, menjadi ciri khasnya.
Dua bulan lalu ayahnya diutus oleh perusahaan tempat ayahnya bekerja untuk pindah ke daegu. Kota ini merupakan salah satu kota metropolitan yang ada di korea selatan. Ayahnya ditugaskan untuk mengurus perusahaan yang ada di gwangju.
Sebelumnya ia tinggal di busan. Dia lahir dan besar dikota itu, namun karena pekerjaan ayahnya jadi mereka sekeluarga akhirnya ikut pindah ke kota ini. Sebenarnya dia tidak suka pindah ke kota ini. Alasannya simpel. karena dia sudah merasa nyaman dikota kelahirannya. Tapi dia tidak bisa menolak kepindahan ini. Mau tinggal dengan siapa dia dibusan sedangkan ibu dan adiknya saja sangat besemangat untuk pindah ke daegu. Tidak mungkin dia tinggal sendiri kan. Jadi dengan berat hati dia menerima kenyataan dan harus rela meninggalkan teman-temannya dibusan.
***
Udara musim semi menemani jalan-jalan sorenya saat ini. Suasana hatinya menjadi lebih baik sekarang. Idenya memang genius, berjalan-jalan sore menikmati udara sekitar lingkungan baru memang lebih baik dari pada bergelut tidak jelas diatas kasur, apalagi ditemani dengan barang-barang yang masih berantakan, menambah pusing saja.
‘tempat bagus juga..’ hanna bergumam melihat-lihat pemandangan sekitar. Sepanjang perjalanan ia dibuat kagum dengan lingkungan itu. meski sebenarnya lingkungan itu kecil tapi penataan rumah-rumah dilingkungan itu berjejer rapi, lingkungannya juga bersih, sepertinya orang-orang yang tinggal disana selalu menjaga kebersihan. Mekarnya bunga azalea dan Forsythia yang ditanam oleh beberapa warga sekitar menambah kesan cantik dilingkungan itu. Hanna mengeluarkan kamera digital SLR miliknya, dia ingin mengambil beberapa foto dari lingkungan barunya.
Salah satu hobi hanna adalah memotret. Dia sangat senang memotret hal-hal baru yang ia lihat, itu kenapa dia selalu membawa kamera-nya. Baginya photography adalah hal yang luar biasa. Ada tiga hal yang membuatnya jatuh cintan pada seni photograph. Yang pertama, dia bisa menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata melalui sebuah foto. Lalu, dia bisa menyampaikan perasaannya tanpa perlu harus menjelaskan pada orang lain, karena menurutnya orang lain belum tentu bisa mengerti seperti apa perasaannya. Dan yang terakhir dia bisa menyimpan banyak kenangan yang takkan pernah ia bisa lupa dengan mengambil sebuah gambar.
Jepreet..jepreet..jeprret..
Entah sudah yang keberapa kalinya kamera itu berbunyi saat hanna mengambil foto. Gadis itu tersenyum melihat hasil foto bunga azalea yang terakhir ia ambil.
“sudah cukup” hanna memasukkan kembali kameranya kedalam tas khusus, kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya.
***
Lelah berkeliling, hanna memilih untuk masuk kedalam sebuah toko klontong. Sekaleng cola dipilihnya untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa kering setelah lama berjalan. dia mengantri dibelakang seorang pembeli lainnya yang berangnya sedang dihitung oleh sang penjaga kasir, kemudian maju ketika gilirannya.
“800won.” Ujar si penjaga kasir menyebutkan harga cola.
Baru saja hanna ingin mengeluarkan uangnya, dia menepuk jidatnya. Ada sesuatu yang dia lupakan, dia juga ingin beli tisu tadi.
“tunggu dulu, aku mau ambil barang lagi.”
Gadis itu pergi kearah rak berisi beragam jenis tisu yang berada di pojokkan toko. Dia mengambil dua pack kecil tisu kering dan kembali ke kasir. Saat kembali kekasir, hanna melihat seorang pemuda memegang cola yang ia ambil sebelumnya, pemuda itu hendak membayar minuman itu.
“ya! Yaa!” hanna memekik cepat menghentikan sejenak aksi transaksi yang hampir terlaksana. “nae kkeoya. ( milikku.)” gadis itu menunjuk sekaleng cola dalam genggaman pemuda dengan hoddie hitam.
“milikmu?” pemuda itu menatap minuman ditangannya lalu menatap hanna secara bergantian. “bagaimana ini bisa jadi milikimu? Aku melihatnya disini.” Ujar pemuda itu tidak percaya.
“aku yang mengambilnya lebih dulu.” Pemuda itu menatap hanna tak yakin. “kau bisa tanyakan pada pria ini.” Seakan tau apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, hanna menunjuk pria lain yang berada di belakang meja kasih untuk memberikan penjelasan.
Pria yang merasa dirinya tengah ditatap oleh dua orang dihadapnnya menghela nafas berat. “nona ini mengambilnya lebih dulu.” Kata pria itu malas.
“oh, tapi aku akan membayarnya lebih dulu.” Selembar uang bernilai 500won diletakkan pemuda itu diatas meja kasir.
Hanna menoleh pada pemuda itu, ia menatap tak terima.
“enak saja kau. Aku yang mengambilnya duluan. Aku juga bisa membayarnya. Kamarikan cola itu” Tak mau kalah hanna meletakkan uang 1000won disamping uang pemuda itu.
Pemuda itu tertawa meremehkan. “hei nona, kau tidak lihat tadi aku yang lebih dulu menaruh uangnya.”
“dan cola itu aku lebih dulu yang mengambilnya dan meletakkannya ditempat ini.” Gadis itu menggebrakk meja kasir. Emosinya mulai mencuat, pemuda didepannya tetap bersikeras.
“aku sudah membayarnya.”
“uangmu belum diterima. Aku juga sudah membayarnya.”
“kau bisa mengambil yang lain lagi.”
“enak saja kau. Itu kaleng cola terakhir yang ada disini dan aku yang mengambilnya lebih dulu. Seharusnya kau saja ambil minuman lain.” Sewot hanna.
Pemuda itu diam sebentar lalu menoleh pada si penjaga kasir. “tidak ada stok lagi?” jika saja masih ada stok lain, dia akan langsung memberikan cola itu pada gadis cerewet didepannya.
“maaf, tapi kami kehabisan stok minuman bersoda itu.” si penjaga kasir menjawab pelan.
Pemuda itu mengangguk kecil lalu kembali menatap hanna yang terlihat menatapnya tajam. Perjanjian dalam dirinya tadi mengatakan jika stoknya masih ada, dia akan memberikan cola itu pada hanna. Tapi, ternyata colanya sudah tidak punya stok lain, itu berarti..
“berarti ini jadi milikku.”
“yak mana bisa begitu..”
Adu mulut antar hanna dan pemuda itu kian sengit, diantara mereka tidak ada yang ingin mengalah satu sama lain. Hanna tidak terima barang yang menurutnya telah menjadi miliknya seenak jidat diambil oleh orang lain. Meski dia belum sempat membayarnya tadi bukan berarti itu belum menjadi haknya. Baginya sejak ia membawa dan meletakkan minuman itu diatas meja kasir, itu sudah menjadi miliknya. Seharusnya dia yang membayarnya.
Dan pemuda itu juga tetap berkeras, tidak ingin mengalah. Dia pikir bukan salahnya jika dia mengambil cola itu toh tadi dia tidak tau, siapa suruh gadis itu meninggalkan barangnya dan dia sudah memberi uang lebih dulu jadi seharusnya cola ditangannya itu telah menjadi miliknya.
Pria si penjaga kasir hanya bisa terbengong melihat kedua remaja itu berebut sekaleng minuman. Pria itu juga bingung pada siapa dia harus memihak, keduanya memiliki kebenaran masing masing. Yang satu lebih dulu mengambil cola itu, dan yang satu lebih dulu mengeluarkan uang untuk membayar.
“jeogiyo (permisi)”
“yak.”
Maksud hati pria itu ingin melerai pertengkaran antar kedua remaja didepannya, tapi ia malah tersentak kaget. Si gadis berteriak lagi. Sipenjaga kasir mengurungkan niatnya dan kembali terdiam. Dia baru tau jika perdebatan sepasang remaja lebih ganas dari pada perdebatan politik yang sering muncul di televisi.
“ambil kembaliannya saja.” Pemuda itu berujar dan langsung melesat pergi keluar dari toko.
“yakk! Neo! (kau). “ hanna berteriak memanggil pemuda yang telah membawa lari colanya. “aisshhh.. cepat hitung ini.”
Pria penjaga kasir itu buru-buru memberikan uang kembalian dari tissu yang hanna beli. Setelah mengambil uang itu hanna ikut keluar mengejar pemuda tadi. Langkah hanna di percepat agar menyamai langkah besar pemuda itu.
“yak. Berhenti kau.” Tarikkan hanna pada kerah belakang jaket hoddie yang dikenakan pemuda itu berhasil menghentikannya. “kembalikan cola ku.”
“ya.. ya.. lepaskan.” Tangan hanna terhempas ketika pemuda itu berputar. “cola ini sudah kubayar.”
“akan ku ganti uangmu kembalikan colanya, mumpung kau belum membukanya.”
Pemuda itu mendesah, dia menatap hanna sebentar, lalu menatap cola ditangannya, tampak berfikir. “oke.” Ujar pemuda itu kemudian mengulurkan tangannya yang menggenggam kaleng cola.
Senyum hanna mengembang, akhirnya pemuda itu mau mengalah. Tapi, dia salah mengira. Baru saja tangan hanna mau mengambil kaleng cola, tangan pemuda itu kembali ditarik pemiliknya. Tawa pemuda itu menggelegar, dia hanya mempermainkan hanna ternyata. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dia menggerutu dalam hati. Kepalanya mulai semakin panas. Tatapan tajamnya mengarah pada wajah -tampan nan menyebalkan- pemuda yang masih saja tertawa didepannya. Dia benar-benar marah sekarang, pemuda itu bercanda pada waktu yang tidak tepat.
“yaaaa!”
Hanna menerjang pemuda itu menggunakan kantung plastik berisi tissu yang tadi ia beli. Dia terus memukul kepala pemuda itu, berharap agam pemuda itu bisa geger otak karena dihajar menggunakan dua pack tisu berukuran kecil, meski nyatanya rasa sakit yang ditumbulkan tidak seberapa.
“aw.. apa yang kau lakukan. Heii.. hei” pemuda itu menggunakan tangannya sebagai tameng menghindari benda ringan yang dilayangkan gadis ganas itu pada kepalanya.
Tanpa mereka sadari kaleng cola yang menjadi rebutan telah jatuh dari tangan si pemuda dan menggelinding mengikuti jalanan yang menurun.
“yaa.. yaa cola-nya.” Pemuda itu berseru heboh melihat kaleng cola yang sudah bergelinding menjauh. Hanna menghentikan aksinya, ia juga mengarahkan pandangannya pada objek yang ditunjuk pemuda itu. mulutnya terbuka lebar begitu juga matanya yang hampir keluar. Mereka diam saling bertatapan terlebih dahulu sebelum....
“cola ku..”
Hanna berlari lebih dulu mengejar kaleng kola yang menggelinding diikuti pemuda tadi. Keduanya berbalapan layaknya sedang mengikuti kompetisi lari demi mendapatkan sekaleng soda.
Awalnya pemuda itu sudah mulai memimpin didepan hanna, tapi gadis itu menarik kerah jaketnya hingga membuat pemuda itu kembali berada dibelakang. Tak mau kalah kerah jaket hanna juga ikut ditarik, pemuda itu melakukan hal seperti yang hanna lakukan padanya. Mereka terus melakukan hal tersebut agar bisa menghalangi satu sama lain.
Kaleng berwarna merah itu akhirnya berhenti setelah didekat trotoar jalan. Kedua muda mudi itu semakin mempercepat lari mereka mencapai kaleng itu. Tinggal satu meter lagi jarak mereka dengan benda yang berharga itu, tapi sebuah minibus yang melintas dan tepat menginjak kaleng cola itu hingga isinya muncrat keluar membuat hanna dan pemuda itu bersamaan me-rem tubuh mereka.
Mereka terdiam memandangi kaleng yang kini telah gepeng dengan raut wajah tak bisa dibaca. Jika saja mereka lebih cepat mungkin benda tak berdosa itu takkan terinjak oleh mobil tadi. Tak ada lagi harapan bagi keduanya untuk menyegarkan tenggorokan.
“kurasa kita harus haru beli yang lain.” Hanna menatap sinis pemuda disampingnya mendengar perkataan pemuda itu.
“ini salah mu.” Ketus hanna jengkel.
“kenapa bisa jadi salahku.”
“kau yang menjatuhkannya tadi.”
“aku tidak sengaja. Lagi pula jika kau tidak memukulku ini tidak akan terjadi.” Balas pemuda itu membela diri.
Hanna berdecih. “ck, seandainya kau mau memberikan cola itu aku tidak akan memukulmu.”
“aku sudah membayar minuman itu. jadi itu hakku, memberikan mu atau tidak itu keputusanku.”
“tapi itu punyaku, aku yang mengambilnya duluan.”
“kan aku yang...” pemuda itu tiba-tiba menghentikan ucapannya. Dia menghela nafas pelan menatap hanna yang juga menatapnya tajam.
“mwo? (apa)”
“baiklah.. baiklah aku yang salah. Tidak ada guna lagi kita bertengkar soal cola malang itu. toh cola-nya jugs sudah hancur.”
Hanna terdiam memikirkan perkataan pemuda yang entah siapa namanya. Pemuda itu ada benarnya, mereka seperti membuang-buang waktu saja bertengkar hanya karena masalah sepeleh, hanya karena sekaleng cola.
“sudah lah aku mau pulang saja.” Hanna beringsut pergi dar tempat itu..
“hei..”
Langkah hanna terhenti sebentar, dia membalikkan tubuhnya melihat kearah pemuda yang berada beberapa meter dibelakannya. Pemuda itu mengangkat tangannya sambil memegang sebuah kantung plastik hitam yang digoyang-goyangkan. Hanna memicing memperhatikan baik-baik katung hitam yang ia rasa mirip miliknya..
“eoh..” sepertinya bukan hanya mirip lagi namun itu benar-benar kantung plastik belanjaannya, karena saat ia melihat kedua tangannya, kantung plastik itu sudah tak ada dan hanya menggenggam udara kosong saja. Hanna tidak ingat bagaimana kantung plastik itu bisa jatuh dan berpindah ke tangan pemuda itu.
Gadis itu berbalik melangkah ketempat dimana pemuda itu berdiri. Dia berjinjit dan sedikit melompat untuk mengambil kantung plastik yang di angkat tingi-tinggi oleh pemuda itu. setelah berhasil, hanna memberikan tatapan garangnya pada pemuda itu, yang hanya dibalas dengan tawa. Menurut pemuda itu, wajah hanna lebih terlihat lucu daripada garang.
“kenapa kau tertawa?”
“aniyo..(tidak kenapa)”pemuda itu mencoba menahan tawanya, tapi sepertinya tidak bisa. Dia masih terkekeh, dan hanna makin jengkel melihat nya.
“awas kau ya.!” Ancam hanna ketus lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju rumahnya.
***
Suara pintu terbanting mengejutkan sepasang suami istri yang tengah mengeluarkan sisa barang dari dalam kardus. Hanna, pelaku pembantingan pada pintu tak berdosa masuk dengan wajah masamnya melewati kedua orangnya yang hanya bisa memandang keheranan. Moodnya benar-benar hancur setelah bertemu pemuda menyebalkan yang telah merebut minuman favoritnya hingga minuman itu tertabrak oleh mobil.
Hanna menghentak-hentakkan kakinya pada setiap anak tangga yang ia pijak, ia membayangkan tengah menginjak wajah pemuda menyebalkan yang bertemu dengannya tadi. Jika saja tubuh manusia itu bisa diremas layaknya selebar kertas, sudah dipastikan pemuda tadi telah kusut karena diremas oleh hanna. Dia akan meramasnya hingga membentuk sperti bola, lalu dia akan memberikannya pada anak anjing hwayeong, temannya dibusan. Tanpa disadari tangan hanna ikut bergerak-gerak seakan ia benar-benar tengah meremas sesuatu.
“noona? (panggilan kakak pr untuk adik lk)” hanna menatap pada hyu woon, adik laki-lakinya yang baru keluar dari kamar mandi disamping kamarnya.
“apa?”
“apa yang kau lakukan?” tanya hyu woon sambil melihat tangan hanna. Jari-jari kakaknya itu bergerak-gerakan tidak jelas. aneh.
“kenapa, kau mau kuremas juga?” mata hanna melotot pada hyu woon membuat adik satu-satunya itu bergidik ngeri.
“eomma, nunaga michyeoss-eo..(ibu, kakak sudah gila.)” hyu woon berteriak.
Hampir saja hanna berhasil menangkap hyu woon, jika saja anak itu tidak lebih gesit menghindarinya. Hyu woon berlari menuruni anak tannga setelah sempat mengatakan “kau gila” pada hanna. Gadis itu tak mengejar adiknya, dia membiarkan hyu woon melarikan diri. Dia terlalu malas untuk menuruni anak tangga lagi. Perasaannya juga masih buruk, dia masih kesal dengan pemuda tadi, jadi dia memutuskan masuk kedalam kamarnya saja.
***
Hi guys! ini cerita pertama ku, semoga kalian suka ya Jangan lupa tinggalkan pesan setelah membaca.
have a nice day!!!